BI Memandang: Maluku Sebaiknya Lirik Sektor Perikanan Budidaya
https://www.malukuchannelonline.com/2016/09/bi-memandang-maluku-sebaiknya-lirik.html
Ambon, Maluku Channel.com Bank Indonesia (BI) memandang perlunya Maluku untuk memulai memberikan perhatian lebih besar dalam membangun sumber pertumbuhan ekonomi baru yaitu sektor perikanan budidaya.
Sektor perikanan tangkap Maluku telah dikenal memiliki potensi yang tinggi, namun dalam beberapa waktu terakhir ini tengah menghadapi tantangan yang cukup besar seperti penerapan kebijakan pengetatan regulasi penangkapan ikan khususnya oleh kapal eks asing.
"Hal ini tercermin dari menurunnya produksi dan ekspor ikan tangkap secara drastis pasca kebijakan tersebut," kata Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Maluku Andy Setyo Biwado di Ambon, Jumat (9/9/2016).
Untuk menjaga stabilitas ekonomi, lanjutnya, tentu Maluku tidak dapat hanya mengandalkan pada perikanan tangkap sebab pemulihan kinerja sektor tersebut membutuhkan waktu, karena itu BI memandang perlunya Maluku memberikan perhatian lebih besar dalam membangun sumber pertumbuhan ekonomi baru yaitu sektor perikanan budidaya.
Dia mengatakan, berdasarkan data food and AgricultureOrganizati (FAO) dalam State of World Fisheries and Aquaculture tahun 2015, produksi perikanan Indonesia pada tahun 2014 menduduki peringkat kedua tertinggi di dunia setelah Tiongkok.
"Produksi Indonesia mencapai 20,37 juta ton per tahun. 60,48 persen dari produksi tersebut ditopang oleh Kawasan Timur Indonesia (KTI), termasuk Maluku di dalamnya," ujarnya.
Maluku merupakan satu dari enam provinsi di KTI, lanjutnya, yang menjadi penopang perikanan dengan kontribusi sebesar 8,9 persen terhadap produk perikanan KTI.
Menurutnya, Maluku memiliki keunggulan pada usaha perikanan tangkap karena memiliki kemudahan akses pada tiga wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang mengandung 26,5 persen dari seluruh potensi perikanan laut Indonesia.
"Kebijakan pengetatan regulasi tersebut termasuk moratorium izin tangkap kapal eks asing dan praktek transshipment, serta pelarangan penggunaan trawl dan seine nets pada tahun lalu memiliki dampak positif dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan pasokan ikan tangkap dalam jangka panjang," ujarnya.
Namun, lanjutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan tersebut memiliki dampak negatif pada perekonomian Maluku yang masih terasa hingga saat ini.
"Nilai ekspor komoditas perikanan Maluku pada tahun 2015 menurun hingga mencapai 81,29 persen (yoy) dari tahun sebelumnya bahkan lebih tajam dari penurtunan nilai ekspor perikanan KTI yang hanya 33,34 persen (yoy)," ujarnya.
Penurunan kinerja perikanan juga tercermin dari penutupan 39 usaha perikanan tangkap dan 11 cold storage di Kota Ambon, hal ini menunjukan keunggulan akses terhadap potensi perikanan tangkap belum diimbangi dengan praktek penangkapan yang berkelanjutan.
Dia mengatakan, selama ini Indonesia masih menjadi negara pemasok bahan baku rumput laut kering ke Tiongkok yang kemudian diekspor ke Amerika berupa agar-agar.
"Saat ini rata-rata harga jual rumput laut basah relatif rendah yakni Rp1.500/kg, sementara untuk komoditas ikan kerapu saat ini hanya dapat menjangkau pasar domestik seperti restoran di Kota Ambon, Seram, dan Provinsi Maluku Utara," ujarnya.
Ikan kerapu potensial untuk dikembangkan karena permintaan dunia Internasional diperkirakan mencapai 100 ribu ton/tahun yang didominasi oleh Tiongkok, oleh karena itu perlu dibangun akses perdagangan menuju Tiongkok sebagai pasar ikan kerapu.
Sektor perikanan tangkap Maluku telah dikenal memiliki potensi yang tinggi, namun dalam beberapa waktu terakhir ini tengah menghadapi tantangan yang cukup besar seperti penerapan kebijakan pengetatan regulasi penangkapan ikan khususnya oleh kapal eks asing.
"Hal ini tercermin dari menurunnya produksi dan ekspor ikan tangkap secara drastis pasca kebijakan tersebut," kata Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Maluku Andy Setyo Biwado di Ambon, Jumat (9/9/2016).
Untuk menjaga stabilitas ekonomi, lanjutnya, tentu Maluku tidak dapat hanya mengandalkan pada perikanan tangkap sebab pemulihan kinerja sektor tersebut membutuhkan waktu, karena itu BI memandang perlunya Maluku memberikan perhatian lebih besar dalam membangun sumber pertumbuhan ekonomi baru yaitu sektor perikanan budidaya.
Dia mengatakan, berdasarkan data food and AgricultureOrganizati (FAO) dalam State of World Fisheries and Aquaculture tahun 2015, produksi perikanan Indonesia pada tahun 2014 menduduki peringkat kedua tertinggi di dunia setelah Tiongkok.
"Produksi Indonesia mencapai 20,37 juta ton per tahun. 60,48 persen dari produksi tersebut ditopang oleh Kawasan Timur Indonesia (KTI), termasuk Maluku di dalamnya," ujarnya.
Maluku merupakan satu dari enam provinsi di KTI, lanjutnya, yang menjadi penopang perikanan dengan kontribusi sebesar 8,9 persen terhadap produk perikanan KTI.
Menurutnya, Maluku memiliki keunggulan pada usaha perikanan tangkap karena memiliki kemudahan akses pada tiga wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang mengandung 26,5 persen dari seluruh potensi perikanan laut Indonesia.
"Kebijakan pengetatan regulasi tersebut termasuk moratorium izin tangkap kapal eks asing dan praktek transshipment, serta pelarangan penggunaan trawl dan seine nets pada tahun lalu memiliki dampak positif dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan pasokan ikan tangkap dalam jangka panjang," ujarnya.
Namun, lanjutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan tersebut memiliki dampak negatif pada perekonomian Maluku yang masih terasa hingga saat ini.
"Nilai ekspor komoditas perikanan Maluku pada tahun 2015 menurun hingga mencapai 81,29 persen (yoy) dari tahun sebelumnya bahkan lebih tajam dari penurtunan nilai ekspor perikanan KTI yang hanya 33,34 persen (yoy)," ujarnya.
Penurunan kinerja perikanan juga tercermin dari penutupan 39 usaha perikanan tangkap dan 11 cold storage di Kota Ambon, hal ini menunjukan keunggulan akses terhadap potensi perikanan tangkap belum diimbangi dengan praktek penangkapan yang berkelanjutan.
Dia mengatakan, selama ini Indonesia masih menjadi negara pemasok bahan baku rumput laut kering ke Tiongkok yang kemudian diekspor ke Amerika berupa agar-agar.
"Saat ini rata-rata harga jual rumput laut basah relatif rendah yakni Rp1.500/kg, sementara untuk komoditas ikan kerapu saat ini hanya dapat menjangkau pasar domestik seperti restoran di Kota Ambon, Seram, dan Provinsi Maluku Utara," ujarnya.
Ikan kerapu potensial untuk dikembangkan karena permintaan dunia Internasional diperkirakan mencapai 100 ribu ton/tahun yang didominasi oleh Tiongkok, oleh karena itu perlu dibangun akses perdagangan menuju Tiongkok sebagai pasar ikan kerapu.